Investor lebih memilih Singapura dan Malaysia pasar meski pasar terbesar berada di RI.
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menilai promosi investasi yang digencarkan pemerintah tidak efektif menarik minat pemodal. Pasalnya, persoalan yang paling mendasar yakni daya saing Indonesia tak kunjung mengalami perbaikan bahkan terjadi penurunan.
Ketua Bidang Perdagangan Badan Pengurus Pusat Hipmi, Harry Warganegara, menilai selain daya saing melemah, lobi-lobi Indonesia juga sangat lemah pada tingkat korporasi. ”Percuma promosi gencar-gencar kalau perbaikan ke dalam tidak berlangsung. Lobi-lobi kita juga sangat lemah,” ujar Harry dalam keterangan tertulis, Senin 12 September 2011.
Dia mengatakan, perusahaan besar seperti RIM (Research In Motion) dan BOSH lebih memilih Malaysia atau Singapura sebab daya saing infrastruktur dan manufakturnya lebih menarik dari Indonesia. Kedua negara itu juga menawarkan Indonesia kepada investor sebagai pangsa pasar menarik bila berinvestasi di Malaysia dan Singapura. Hal itu membuat investor seperti RIM, BOSH dan perusahan pengolahan kakao Barry Callebout datang ke Singapura atau Malaysia,
"Sebab daya saing dalam negeri mereka dan pasar yang besar Indonesia yang dekat dengan mereka. Dengan kata lain, Indonesia masuk dalam paket tawaran daya saing mereka. Ini kan menyakitkan,” papar Harry.
Harry memaparkan, tak hanya RIM (produsen Blackberry/BB) atau BOSH yang menginginkan Malaysia atau Singapura, hampir semua industri memilih membangun pabrik atau kantornya di negara jiran itu. Sementara, Indonesia hanya menjadi pasar dan penyedia bahan baku. “Barry Callebout membangun pabrik coklat di Singapura, padahal negara ini tidak punya satu pun pohon kakao,” papar Harry.
Hal yang sama terjadi pada industri lainnya. Sebagian besar industri-industri telekomunikasi, informasi, mikro chip, dan komunikasi dunia lebih memilih Malaysia dan Singapura sebagai basis industri mereka di Asia Tenggara meski pasar terbesar jelas-jelas berada di Indonesia.
Disinsentif Tidak Efektif
Disisi lain, Hipmi menyambut upaya pemerintah memberikan disinsentif bagi produk yang memiliki daya produksi besar dan tidak membangun pabrik di Indonesia. Namun Hipmi menilai pendekatan ini tidak akan efektif. Pasalnya, ketergantungan konsumen Indonesia terhadap produk-produk itu sangat besar.
Ketua Bidang Perdagangan Badan Pengurus Pusat Hipmi, Harry Warganegara, menilai selain daya saing melemah, lobi-lobi Indonesia juga sangat lemah pada tingkat korporasi. ”Percuma promosi gencar-gencar kalau perbaikan ke dalam tidak berlangsung. Lobi-lobi kita juga sangat lemah,” ujar Harry dalam keterangan tertulis, Senin 12 September 2011.
Dia mengatakan, perusahaan besar seperti RIM (Research In Motion) dan BOSH lebih memilih Malaysia atau Singapura sebab daya saing infrastruktur dan manufakturnya lebih menarik dari Indonesia. Kedua negara itu juga menawarkan Indonesia kepada investor sebagai pangsa pasar menarik bila berinvestasi di Malaysia dan Singapura. Hal itu membuat investor seperti RIM, BOSH dan perusahan pengolahan kakao Barry Callebout datang ke Singapura atau Malaysia,
"Sebab daya saing dalam negeri mereka dan pasar yang besar Indonesia yang dekat dengan mereka. Dengan kata lain, Indonesia masuk dalam paket tawaran daya saing mereka. Ini kan menyakitkan,” papar Harry.
Harry memaparkan, tak hanya RIM (produsen Blackberry/BB) atau BOSH yang menginginkan Malaysia atau Singapura, hampir semua industri memilih membangun pabrik atau kantornya di negara jiran itu. Sementara, Indonesia hanya menjadi pasar dan penyedia bahan baku. “Barry Callebout membangun pabrik coklat di Singapura, padahal negara ini tidak punya satu pun pohon kakao,” papar Harry.
Hal yang sama terjadi pada industri lainnya. Sebagian besar industri-industri telekomunikasi, informasi, mikro chip, dan komunikasi dunia lebih memilih Malaysia dan Singapura sebagai basis industri mereka di Asia Tenggara meski pasar terbesar jelas-jelas berada di Indonesia.
Disinsentif Tidak Efektif
Disisi lain, Hipmi menyambut upaya pemerintah memberikan disinsentif bagi produk yang memiliki daya produksi besar dan tidak membangun pabrik di Indonesia. Namun Hipmi menilai pendekatan ini tidak akan efektif. Pasalnya, ketergantungan konsumen Indonesia terhadap produk-produk itu sangat besar.
“Contohnya blackBerry (BB). Harganya dinaikkan berapa pun masyarakat tetap beli. Selain konsumen sudah sangat tergantung BB, pesaing gadget satu ini belum ada,” tegas Harry.
RIM sendiri menargetkan pelanggan BB di Indonesia sebanyak 4 juta atau sekitar 8 kali lipat pelanggan Malaysia yang hanya sebanyak 400 ribu pelanggan. Untuk itu, Hipmi menilai lebih tepat bila daya saing RI ditingkatkan saja. “Dan tingkatkan lobi-lobi non formal dengan investor luar. Selama ini kita selalu formal sehingga tidak konkrit yang ditawarkan kepada investor,” papar Harry.
RIM sendiri menargetkan pelanggan BB di Indonesia sebanyak 4 juta atau sekitar 8 kali lipat pelanggan Malaysia yang hanya sebanyak 400 ribu pelanggan. Untuk itu, Hipmi menilai lebih tepat bila daya saing RI ditingkatkan saja. “Dan tingkatkan lobi-lobi non formal dengan investor luar. Selama ini kita selalu formal sehingga tidak konkrit yang ditawarkan kepada investor,” papar Harry.
Dalam catatan VIVAnews, Laporan World Economic Forum dalam The Global Competitiveness Report 2011-2012 menunjukkan daya saing Indonesia berada di posisi 46, atau dua kali lipat di bawah Malaysia yang berada pada peringkat 21 dunia (skor 5,1). Peringkat Malaysia naik 5 poin dari sebelumnya 26, sedangkan peringkat Indonesia justru turun 2 poin dibanding tahun lalu yang semula 44. Untuk mengetahui perbandingan daya saing Indonesia-Malaysia
0 comments:
Post a Comment